PELAKSANAAN HUKUM ADAT TERHADAP RANTAU LARANGAN DALAM MELESTARIKAN SUNGAI DI DESA SEIKIJANG KECAMATAN ROKAN IV KOTO KABUPATEN ROKAN HULU
Kata Kunci:
Hukum Adat, Rantau Larangan, Pelestarian Sungai, Kearifan Lokal, Penyelesaian SengketaAbstrak
Tradisi Rantau Larangan merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Desa Seikijang yang secara turun-temurun dijalankan untuk menjaga kelestarian sungai dan populasi ikan. Dalam praktiknya, masyarakat melarang pengambilan ikan di wilayah sungai tertentu untuk jangka waktu tertentu, dengan sanksi adat baik sosial maupun spiritual bagi pelanggar. Penelitian ini bertujuan untuk memahami mekanisme pelaksanaan hukum adat dalam Rantau Larangan, faktor-faktor pendukung dan penghambatnya, serta hubungannya dengan sistem hukum nasional. Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rantau Larangan dijalankan melalui musyawarah bersama tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat, disertai upacara adat yang memperkuat nilai sakralnya. Adapun sanksi adat seperti denda, pengucilan sosial, serta kepercayaan terhadap akibat mistis efektif menjaga kepatuhan masyarakat. Faktor pendukung pelaksanaan tradisi ini meliputi kesadaran masyarakat, legitimasi tokoh adat, dan dukungan hukum dari peraturan daerah dan nasional. Sementara itu, hambatan yang dihadapi mencakup menurunnya kesadaran generasi muda, masuknya teknologi perikanan modern, dan lemahnya dokumentasi hukum adat. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa hukum adat Rantau Larangan bukan hanya relevan sebagai warisan budaya, tetapi juga efektif dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Tradisi ini diakui oleh konstitusi dan peraturan nasional, sehingga pelestariannya penting sebagai model integrasi antara hukum adat dan hukum negara dalam menjaga lingkungan.
Rantau Larangan is a form of local wisdom practiced by the indigenous community of Seikijang Village to preserve rivers and maintain fish populations. This tradition prohibits fishing in designated river areas for a certain period and imposes customary sanctions, both social and spiritual, on violators. This research aims to examine the implementation mechanism of customary law in Rantau Larangan, the supporting and inhibiting factors, and its alignment with national legal frameworks. Using a sociological-juridical method, data were collected through interviews, field observation, and documentation. The findings reveal that Rantau Larangan is carried out through communal deliberation involving traditional and religious leaders, and is reinforced by sacred rituals. Customary sanctions, including fines, social exclusion, and spiritual beliefs, effectively maintain community compliance. Supporting factors include community awareness, the authority of customary leaders, and legal support from local and national regulations. Inhibiting factors include declining youth awareness, modern fishing technology, and the lack of written documentation of customary rules. The study concludes that Rantau Larangan is not only a cultural heritage but also an effective tool for sustainable resource management. Recognized by the Constitution and national laws, its preservation is vital as a model for integrating customary and state law in environmental protection.




